ANALISIS: PEMERINTAH PERLU MEMULANGKAN KELUARGA EKS ISIS DAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL ANAK DI INDONESIA
Pemerintah Indonesia
menegaskan tidak akan memulangkan 689 warga negara Indonesia bekas anggota
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dengan alasan keamanan.
Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan pemerintah bertanggung jawab
menjaga masyarakat Indonesia dari ‘virus teroris’ yang akan terbawa oleh para
mantan pejuang ISIS tersebut.
Ini berarti, perempuan
dan anak-anak keluarga eks pejuang ISIS asal Indonesia akan terlantar di
tenda-tenda pengungsian Al-Hawl di Suriah.
Populasi pengungsi di
tenda-tenda tersebut tercatat berjumlah 74.000 orang pada April 2019, termasuk
di dalamnya 20.000 wanita dan 50.000 anak-anak. Tenda-tenda pengungsian dijaga
ketat oleh 400 tentara dari Syrian Democratic Force (SDF), pasukan koalisi
tentara Kurdis dan Arab yang didukung penuh Amerika Serikat (AS).
Pemerintah memang
mengatakan akan mempertimbangkan kasus per kasus anak-anak di bawah 10 tahun
untuk dapat dipulangkan ke Indonesia.
Akan tetapi,
pernyataan tersebut tidak disertai mekanisme jelas tentang bagaimana proses
pemulangan serta tahapan apa yang akan dijalani oleh anak-anak ketika di
Indonesia.
Pertanyaan apakah
anak-anak ini akan kembali bersama orang tua mereka yang sudah terlibat aksi
kekerasan, menjadi pertimbangan dilematis dari proses pemulangan tersebut.
Khawatir akan
timbulnya krisis kemanusiaan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan
agar negara-negara asal pejuang ISIS memulangkan penduduk mereka.
Masalah-masalah
seperti malnutrisi, sanitasi, cuaca yang tidak bersahabat, dan akses terhadap
pendidikan dapat menjadi dampak langsung dari krisis tersebut.
Secara keseluruhan,
pengalaman ini dapat meninggalkan trauma khususnya bagi anak-anak serta
memunculkan dendam yang didasari kebencian terhadap pemerintah Indonesia. Ini
justru melanggengkan rantai terorisme.
PROGRAM REHABILITASI
SOSIAL ANAK DI INDONESIA
Sejak gelombang
pertama kembalinya mantan pendukung ISIS ke Indonesia pada pertengahan 2017,
pemerintah menempatkan mereka dalam program rehabilitasi yang diselenggarakan
Kementerian Sosial dibawah pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT).
Khusus bagi anak-anak,
Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK)
“Handayani” menjadi institusi pertama dilakukannya program deradikalisasi.
Setidaknya 87
anak-anak mantan pendukung ISIS menjalani rehabilitasi sosial. Mereka tinggal
di rumah aman (safe house) Handayani selama 3 sampai 6 bulan.
Proses deradikalisasi
yang dilakukan mengikuti aturan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang
pemberantasan terorisme, yaitu pertama identifikasi dan penilaian; kemudian
rehabilitasi; re-edukasi; dan terakhir re-integrasi sosial.
Sayangnya, pemerintah
dalam – hal ini Kementerian Sosial – belum memiliki alat ukur untuk mengukur
keberhasilan program deradikalisasi. Selama ini, evaluasi dilakukan dengan
menggunakan alat ukur psikologi untuk menilai keberhasilan terapi yang sudah
dilakukan.
Menurut teori proses
sosialisasi oleh John A. Clausen, profesor di bidang Sosiologi Universitas
California, AS, ada proses yang terjadi seumur hidup dalam mewariskan dan
menyebarluaskan norma, kebiasaan, dan ideologi. Di sini, orangtua merupakan
agen utama sosialisasi.
Karena itu,
keberhasilan proses rehabilitasi anak ditopang oleh berhasil-tidaknya
rehabilitasi orang tua.
Sumber: The
Conversation - 22 Feb 2020
Oleh: Misha Ketchell
IKUTI KAMI 👇
https://twitter.com/alhaqcentre
https://al-haqcentre.blogspot.com
https://instagram.com/alhaqcentre
"BERSATU
MENENTANG EKSTREMIS!
Comments
Post a Comment